Pembelajaran Bahasa Arab: Problematika Dan Solusinya

Pengajaran bahasa Arab di Indonesia kerap kali menghadapi problem linguistik dan non- linguistik yang wajib segera dituntaskan.

 Problem linguistik, seperti fonetik, morfologi, dan struktur, sedangkan problem non-linguistik, antara lain, semangat belajar, sarana belajar, metode pengajaran, kala belajar, dan lingkungan pembelajaran.

Persoalan pembelajaran bahasa benar-benar banyak variasi sesuai bersama usia pelajar dan lingkungan tempat belajar. Artikel ini mengungkap problematika pengajaran bahasa Arab di Indonesia sekaligus bagaimana cara mengatasinya.

Bahasa Arab, biarpun diakui sebagai bahasa kitab suci, tidak berpengaruh secara vital terhadap sikap belajar siswa dan hasil belajarnya.

Karena itu, bahasa Arab harusnya dibelajarkan oleh orang yang menguasai bahasa Arab dan sadar pembelajarannya secara akademik dan pedagogik.

 Dan, pengetahuan guru berkenaan problematika pengajaran Bahasa Arab perlu diperlukan agar ia sanggup menemukan solusi yang tepat di dalam membelajarkannya.

Problem pembelajaran bahasa Arab yang paling serius untuk ditangani adalah keseriusan belajar siswa dan keseriusan gu- ru di dalam mengajar.

Keseriusan belajar dan mengajar ini tidak sanggup dimulai oleh sikap terpaksa untuk mengikuti sebuah susunan kurikulum agar memasung kebebasan berkreasi untuk mendapatkan pengetahuan dan menajamkan keterampilan.

 Belajar sejatinya memberdayakan aspek fisik dan psikis manusia agar menjadi khusus unggul yang efektif.

Berbagai keluhan berkenaan rendahnya prestasi pembelajaran bahasa Arab acap kami dengar berasal dari banyak variasi penelitian dan tulisan. Usaha untuk melakukan perbaikan kualitas pembelajaran pun udah dijalankan bersama bermacam upaya. Namun, hasilnya senantiasa saja masih jauh berasal dari memadai. Karena itu, tersedia baiknya diidentifikasi lagi problematika pembelajaran bahasa Arab disertai usaha untuk mencari solusi yang tepat. Tulisan ini akan memetakan problematika dan solusi pembelajaran bahasa Arab secara akademik dan pedagogik.

Silahkan belajar disini: sekolah bahasa arab

Problematika Pengajaran Bahasa Arab

Secara teoretis, tersedia dua problem yang sedang dan akan konsisten dihadapi pembelajaran bahasa Arab, yaitu: problem kebahasaan yang kerap disebut problem linguistik, dan problem non-kebahasaan atau non-linguistik.

Pengetahuan guru berkenaan ke dua problem itu benar-benar perlu agar ia sanggup meminimalisasi problem dan mencari solusinya yang tepat agar pembelajaran bahasa Arab di dalam batas minimal sanggup tercapai bersama baik. Sikap mengeluh tanpa mencari jalur muncul adalah hal utopis.

Problem kebahasaan adalah persoalan- persoalan yang dihadapi siswa atau pembelajar (pengajar) yang berkenaan segera bersama bahasa.

Sedangkan, problem non- kebahasaan adalah persoalan-persoalan yang turut mempengaruhi, bahkan dominan sanggup menggagalkan, keberhasilan program pembelajaran yang dilaksanakan[1]. Problem kebahasaan sanggup diidentifikasi, antara lain sebagai berikut:

1.Problem Ashwât ʻArabiyyah

Problem ashwât adalah persoalan berkenaan bersama proses bunyi atau fonologi. Bunyi bahasa   Arab   tersedia yang mempunyai kedekatan bersama bunyi bahasa pebelajar dan tersedia pula yang tidak mempunyai padanan di dalam bahasa pebelajar.

 Secara teori, bunyi yang tidak mempunyai padanan di dalam bahasa pebelajar diduga akan banyak merepotkan pebelajar daripada bunyi yang membawa padanan. Karena itu, solusinya adalah memberikan pola latihan intens dan semisal percakapan berasal dari  kata  atau  kata-kata  yang  beragam[2].

Dalam hal ini, guru dituntut mempunyai keterampilan ekspresif di dalam berikan semisal sebanyak mungkin agar pengayaan kosakata terhitung terbangun secara baik dan membentuk kumulatif. Ini berarti penentuan semisal terhitung wajib berupa kosakata yang membawa kebermaknaan.

2.Problem Kosakata (Mufradât)

Bahasa Arab adalah bahasa yang pola pembentukan katanya benar-benar banyak variasi dan fleksibel, baik lewat cara derivasi (tashrîf isytiqâqî) maupun bersama cara infleksi (tashrîf iʻrâbî).

Melalui dua cara pembentukan kata ini, bahasa Arab menjadi benar-benar kaya bersama kosakata (mufradât). Dalam konteks penguasaan kosakata, Rusydi Ahmad Thuʻaimah berpendapat: “Seseorang tidak akan sanggup menguasai bahasa sebelum akan ia menguasai kosakata bahasa tersebut”[3].

Dengan cii-ciri bahasa Arab yang pembentukan katanya banyak variasi dan fleksibel tersebut, problem pengajaran kosakata bahasa Arab akan terletak terhadap keanekaragaman wujud marfologis (wazan) dan arti yang dikandungnya, dan juga akan berkenaan bersama konsep- rencana perubahan derivasi, perubahan infleksi, kata kerja (afʻâl/verb), mufrad (singular), mutsannâ (dual), jamak (plural), ta’nîts (feminine), tadzkîr (masculine), dan juga arti leksikal dan fungsional.

Dalam konteks pengajaran bahasa, tersedia realita lain yang berkenaan bersama kosakata yang wajib diperhatikan, yaitu banyaknya kata dan arti Arab yang udah diserap ke di dalam kosakata bahasa Indonesia atau bahasa daerah.

Pada satu sisi, situasi tersebut berikan banyak keuntungan, tetapi terhadap kala yang sama, perpindahandan penyerapan kata-kata bahasa Arab ke bahasa Indonesia itu sanggup terhitung menimbulkan problem tersendiri, antara lain:

a. Penggeseran arti kata serapan

Banyak kata atau ungkapan yang diserap di dalam bahasa Indonesia berarti berubah berasal dari arti sesungguhnya di dalam bahasa    Contohnya, ungkapan“ﻣﺎﺷﺎﺀﷲˮ(mâsyâʼaAllâh). Dalam bahasa Arab, “mâ syâʼa Allâhˮ digunakan untuk tunjukkan rasa kagum (terhadap hal-hal yang indah dan luar biasa) tetapi di dalam bahasa Indonesia, maknanya berubah untuk tunjukkan hal-hal yang bernuansa negatif atau keluhan, seperti ungkapan ”Masya-Allah… anak ini kok bandel amat!”

b. Perubahan lafal berasal dari bunyi bahasa Arabnya

Contohnya, kata “berkatˮ yang berasal berasal dari kata ﺑﺮﻛﺔ (barakah) dan kata “kabarˮ yang berasal berasal dari kata ﺧ؄ﺮ (khabar).

C. Perubahan arti tetapi lafalnya tidak berubah

Misalnya, kata “kalimatˮ berasal berasal dari kata كﻠﻤﺔ (kalimah/t). Dalam bahasa Arab, kalimah/t berarti “kata” tetapi di dalam bahasa Indonesia, ia berubah berarti menjadi “susunan kata yang lengkap maknanya”. Padahal, lapisan kata di dalam bahasa Arab disebut ﺗﺮﻛﻴﺐ (tarkîb) atau ﺟﻤﻠﺔ (jumlah). Begitu terhitung bersama sebagian kata dan arti yang udah mengalami penyempitan dan perluasan makna. Selanjutnya, menurut mazhab struktural, kata adalah suatu wujud minimal yang bebas. Kata adalah unit terkecil berasal dari suatu bahasa yang berupa independen[4]. Takrif kata atau mufradât benar-benar banyak variasi sesuai bersama pandangan para pakar terhadapnya. Karena itu, pembelajar sebaiknya sadar hakikat pengajaran mufradât agar terhindar berasal dari kekeliruan bunyi dan arti, dan juga pergeseran makna.

3. Problem Qawâʻid dan Iʻrâb

Tata bahasa Arab atau qawâʻid, baik berkenaan pembentukan kata (sharfiyyah) maupun lapisan kata-kata (nahwiyyah), kerap kali diakui rintangan besar bagi pelajar bahasa Arab. Apa pun asumsi kami terhadap kesulitan qawâʻid itu tidak akan merubah eksistensinya. Sebab, guru terhadap pada akhirnya senantiasa dituntut sadar apa yang dirasakan sulit oleh pebelajar bahasa Arab, selanjutnya menawarkan cara yang mudah untuk menguasai bahasa Arab di dalam kala relatif singkat.

Menurut penulis, usaha yang wajib dijalankan adalah menyederhanakan dua hal, yaitu binyah al-kalimah (bentuk kata) dan mawâqiʻ al-iʻrâb (fungsi kata di dalam kalimat).

Penyederhanaan dimaksud adalah menjauhi dan bahkan melenyapkan hal-hal yang tidak cukup fungsional atau yang frekuensi penggunaannya benar-benar jarang.

 Binyah al-kalimah (konstruk kata) yang dipilih adalah yang fungsionalnya baik di dalam bahasa lisan atau membaca teks.

Fakta tunjukkan bahwa di antara wazan–wazan (neraca/pola kata) yang diperkenalkan di dalam pembelajaran bahasa Arab, kecuali fiʻil dan mashdar yang bersumber terhadap kata dasar tiga huruf banyak yang tidak produktif untuk keperluan berbahasa dan hanya membangun cara belajar bersama pendekatan hafalan.

Padahal, pembelajaran kaidah menurut hemat penulis harusnya dibelajarkan bersama pendekatan analogi   atau qiyâsî dan bukan bersama pendekatan samâʻî (mengikuti tuturan pemilik bahasa). Menurut al-Ghalayaini, pengetahuan sharf sebagai bagian berasal dari gramatika yang berkata berkenaan dasar-dasar pembentukan kata wajib mendapat perhatian di dalam pembelajaran bahasa[5].